August 4, 2020

Kalau saja

Satu hari bertambah lagi, setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku sempatkan untuk menepikan sepeda motor di sebuah tempat kopi yang mungkin akan jadi tempat favoritku untuk membagi tulisan baru, walau kadang di kepalaku hanya sebatas niat, sampai disini malah hanya menggulir layar ponsel melihat unggahan foto terbaru teman-teman di media sosial, melihat kabar terbaru mereka yang entah kenapa semua orang terlihat bahagia disana, entah mereka hanya memperlihatkan kebahagiaan, atau memang hidup mereka memang selalu baik-baik saja. Kadang aku suka melayangkan fikiran, bertanya-tanya apa pernah mereka menyudut di kamar, menenggelamkan wajah pada bantal, membanjirinya dengan air mata, menggerutu dan bergelut dengan kenyataan bahwa ada masa tidak baik-baik saja dalam perjalanan manusia.

Karena aku begitu, kadang aku mempunyai hari yang berat dan tidak nyaman saat terbangun di pagi hari dan menghadapi hari yang itu-itu saja, isinya hanya cemburu, kesal dengan kehidupan orang-orang yang sepertinya dimudahkan Tuhan untuk hidup dengan senang dan tenang, tapi selama ini aku hanya bisa memendam dalam-dalam itu semua sampai akhirnya aku lelah dan memutuskan untuk duduk saja, menghabiskan sisa libur dengan kembali menggulir layar ponsel yang isinya itu lagi.

satu waktu kudapati kabar terbaru salah satu teman yang dulu cukup kukenal dengan baik, hari itu ia bertunangan dan memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat, kemudian menggulir layar ke postingan berikutnya, ku temui teman-yang dulunya sempat sekelas denganku di SMA baru saja memiliki anak pertama, lalu itu semua ditambah lagi dengan kabar orang yang dulu benar-benar aku sayang, memamerkan foto baru berdua dengan orang yang sekarang menggatikan posisiku sebagai tempat bersandarnya.

Aku sangat depresi, saat kurasa Tuhan menyulitkanku, menjauhkanku dari kerumunan yang familiar, memaksa untuk lebih kuat menjadi manusia, menyederhanakan pengharapan yang dulunya jauh tinggi di atas kemampuanku dan memberikan aku sedikit ruang hanya agar aku dapat waras dan tertawa layaknya manusia lainnya.

Tapi, kalau saja Tuhan sedikit saja menuruti pintaku saat itu, entah dimana aku sekarang, aku rasa aku tak akan sekuat ini ,  meyakini kalau Tuhan memanglah pengatur rencana yang sangat baik, lebih mengerti arti dari bersyukur, dan tulisan ini tak mungkin lahir.