Aku lebih memilih sendirian di rooftop ini, menghabiskan sesap demi sesap batangan nikotin, dari pada membaur di keramaian pesta reuni SMA di ballroom lantai bawah gedung duabelas tingkat ini,
aku tak begitu suka berada di kerumunan keramaian dan suara bising, lagipula, disini lebih indah, aku bisa melihat bintang lebih dekat, tanpa ditutup pohon mangga seperti waktu aku melihatnya di balkon rumahku, ditambah lagi pemandangan jalan raya yang dihiasi lampu-lampu jalan dengan kendaraan yang lalu lalang saat aku melihat kebawah.
Cukup menenangkan, dan pas pula dengan secangkir kopi didepanku.
Reuni. menurutku, ini hanya ajang pamer kesuksesan, dan mengenang kenangan, aku benci pamer, apalagi mengenang, lagipula, aku belum punya apa-apa untuk dipamerkan. dan mengenang, siapa yang suka mengenang?, kalaupun manis, belum tentu dapat mengulang kembali,
Aku punya kenangan pahit, saat SMA, dan sialnya, ia datang malam ini.Stefani, aku tak pernah lupa bentuk bibir itu, ku kecup dengan lembut, kemudian bibir itu pula yang mengeluarkan kata-kata bak belati tajam, dengan pesat menancap pada seluruh sendi tulang, hingga aku terjatuh, racunnya yang langsung memanaskan telinga dan memedihkan mata, hingga turun bulir-bulir hujan perlahan, dari mata yag masih ku arahkan pada wajahnya.
"Kita harus mengakhiri ini, semakin lama aku semakin sadar, ketidak cocokan kita, akupun telah menemui yang tepat untukku"
Begitu, katanya.
Tanpa ada peringatan sebelumnya.
Setelah bergelut dengan kesedihan, aku memutuskan untuk tak ingin lagi tau sekecil apapun hal tentang dia, mencoba dan mencoba, hingga setelah kelulusan sekolah, kita terpisah dan tak pernah lagi saling tatap, hingga malam ini, saat aku sedang menyapa seorang sahabat lama, kita berpapasan, mata kita saling bertemu, sedikit senyum kecil juga saling kita tukar, seketika ingatan itu kembali, aku kemudian berhambus meninggalkan kumpulan dan membawa sebuah kopi kesini.
Lima belas menit sudah aku hanyut dalam keindahan dari atas sini, tiba-tiba ku dengar bunyi pintu membuka dan decitan bunyi sepatu dengan hak perlahan mendekat, aku tau seorang wanita yang datang, tapi sengaja tak kutolehkan pandangan ku padanya, saat ini yang kupedulikan hanya keindahan dan ketenangan yang sedang aku rasakan.
Wanita itu langsung saja bergabung bersamaku disebelah kanan, tanpa permisi dan langsung berucap.
"Aku tau kau akan kesini"
Aku kenal suara ini, aku tak mungkin salah orang, ini adalah suara dari perempuan itu, tanpa menolehkan pandangan aku menjawab.
"Aku tidak begitu suka suasana ramai"
"Kau masih saja seperti dulu" katanya sambil mengarahkan pandangan kepadaku.
Kusesap kembali batangan nikotinku yang sudah tinggal setengah, dan membalikkan pertanyaan.
"Kau sendiri, kenapa disini?"
"Menemuimu"
Baru ku arahkan wajahku, kudapati dia dengan gaun berwarna gelap, sehitam rambutnya yang sedikit Melebihi bahu diterbangkan angin, wajahnya sangat cantik, dengan riasan yang tak terlalu tebal, sejenak aku hanyut dalam keindahan wajahnya.
"Minggu depan aku akan menikah" dia menyambungkan
Aku terkejut, tapi aku memilih tidak menunjukannya, aku memang ahli dalam hal ini, aku ambil kopi yang sudah dingin didepanku, dan ku minum, sambil mengembalikan pandangan pada langit yang indah itu.
"Kenapa memberi tahuku"
Kataku, seolah tak peduli.
"Aku tak tau apa aku siap" katanya sambil mengambil batang nikotin yang ada disela jariku, dan menghisapnya.
"Kenapa?"
"Dia tak sepertimu"
Aku kembali terkejut dan merebut batang nikotin dari sela jemarinya dan membuangnya, sebenarnya aku tak ingin terlibat dalam hal ini, aku mencoba mengacuhkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dari bibirnya, namun ada sesuatu jauh didalam hatiku, yang kembali mendapat cahaya, entah apa itu namanya, membuatku memandangnya sekali lagi.
Tiba-tiba wajahnya mendekat, tangannya membelai bagian belakang telinga ku, semakin dekat, semakin hangat, jantung semakin tak terkendali seperti akan jatuh dari atas gedung ini, kemudian bibirnya menempel pada bibirku, kurasakan kembali hangat itu, masih sama seperti bibir yang ku kecup beberapa tahun lalu, ku pejamkan mataku,ku nikmati beberapa saat, lalu aku lupa dunia, hingga beberapa menit kemudian, aku tersentak dan sadar. Kulepas perlahan bibirku dari bibirnya, mata kami kembali membuka, kualihkan pandangan ku darinya.
"Maaf, kita tak bisa lakukan ini"
"Kenapa? , oh karena aku akan menikah?
Wanita itu lantas tertawa, kemudian menyambung kalimatnya,
"Aku hanya bercanda" .
Aku sedikit menaikkan alis, dan memandangnya kembali,
"Iya aku akan menikah, tapi aku ingin menikah denganmu, katanya" kemudian ia memagut wajahku kembali, dan mendekatkan wajahnya, tapi aku menolaknya kali ini,
"Bukan itu masalahnya" kataku, sambil melepas tangannya dari pundakku.
"Terus apa?"
Aku menghela nafas, kuberanikan diriku, aku tau ini akan menyakitinya, tapi kalau tidak kuberi tau, aku yang akan merasa berdosa, langsung saja aku berucap
"Aku telah menikah, bulan lalu"
Aku tau perasaannya saat ini, dia seperti dihantam ribuan belati lebih tajam dari yang pernah kudapatkan dulu, wajahnya yang cantik itu menjelma memerah, matanya kosong melihat mataku, kemudian semakin penuh air bak telaga, hingga jatuhlah satu persatu air matanya seperti hujan tanpa peringatan mendung. Ia melepas pandanganya dari ku, aku melihatnya lemah, tertunduk dan lesu.
"Maaf" kataku,
Dengan isak tangis tersedu ia berkata "Aku telah mengikutimu beberapa tahun ini, aku tau kau selalu duduk di perempatan jalan dekat rumahmu, untuk menikmati kopi dan sebuah roti isi, aku tau kau bekerja di salah satu surat kabar harian, aku tau selalu duduk di cafe pada hari rabu malam dengan laptop, aku bahkan masih hafal, gelagatmu dengan celana jeans,kaos, dan kemeja flanel berpola kotak, dengan tas kamera menggantung di lenganmu. Aku juga.."
Aku menghentikan kalimatnya,
"Aku yakin sebulan ini kau tak melihatku"
"Aku tinggal di kota lain sekarang, jauh dari sini, awalnya ingin melupakanmu, tapi senyummu dibawah tadi mengantarku kesini, asal kau tau, sekarang aku tak peduli kau sudah menikah, aku tetap ingin bersamamu"
"Aku tak mungkin melakukan itu, aku yakin pertemuan kita disini hanya untuk mengukur kedewasaan, apakah kita bisa saling menerima dengan mengubur mimpi-mimpi kita dulu, berjalanlah kembali, kau akan mendapatkan yang lebih dari sekedar aku"
Aku memegang bahunya, "sekali lagi aku minta maaf". Lalu aku berhambus darinya, kutinggalkan dia dengan kesendiriannya, aku yakin saat seperti ini lebih baik untuknya tidak bertemu siapa-siapa.
Aku mengambil langkah, turun kembali ke keramaian sahabat lama,di ballroom, memasang senyum yang tak tulus dan membuat candaan kecil.
Kemudian kami dikejutkan suara dari luar hotel, bunyi tabrakan keras kemudian sirine mobil, kami segera mendekat ke jendela, untuk mencari tau apa yang terjadi, aku pun turut melihat pemandangan itu, aku tak percaya apa yang kulihat, aku masih hafal gaun berwarna gelap itu, namun sekarang ada hiasan merah penuh darah, tubuh wanita telungkup di atas mobil sedan berwarna silver, penuh darah berserakan.
"Stefani"
Aku berlari sekencang-kencangnya melewati tangga ke bawah, menyusuri tangga, tak peduli apa-apa, kemudian aku terhenti di depan mayat Stefani, aku mematung, dan berlutut, "ya Tuhan",
aku mendekatinya, namun langkahku terhenti oleh kerumunan yang lebih dulu disekitarnya, polisi-polisi memportali sekeliling mobil sedan berwarna silver itu, aku tak tentu arah, lemah tak berdaya, menangis dan terduduk di trotoar jalan.
Diantara kesedihanku, aku meraba secarik kertas di saku dadaku, aku tak tau asalnya dari mana, kertas itu bertuliskan
Bukan kau yang pergi, aku yang akan meninggalkanmu, semoga kau bisa mengukur kedewasaan dan menerima semua ini.
Lalu aku tersadar, dan berasumsi dengan sangat yakin, ia menaruhnya di sakuku saat aku menciumnya tadi, ternyata ia sudah merencanakan semua ini, ternyata dia tak pindah ke kota lain, ia tau aku sudah menikah, dan ini adalah cara dia mengucapkan selamat tinggal padaku, cara dia mengukur kedewasaan, bukan menerima, tapi mengakhiri.
-cerpen Stefani
Randy hambali
Ruang kosong
No comments:
Post a Comment
tinggalkan komentar